Untuk merumuskan karakter haji mabrur, bisa dilihat dari makna kebahasaan dari kata mabrur lalu mengaitkannya dengan isyarat ayat-ayat al-Qur’an. Kemudian karakter itu juga dapat dipahami dari penjelasan Rasulullah SAW.
Dari sisi bahasa, Ibnu Mandhur dalam lisan al-‘Arab, menjelaskan bahwa kata mabrur mengandung dua makna, pertama mabrur berarti baik, suci dan bersih; kedua, mabrur berarti maqbul atau diterima oleh Allah SWT.
Mabrur berarti kebaikan, berasal dari kata barra, yabirru, barran. Artinya, karakter haji mabrur adalah senantiasa melakukan kebaikan. Hakikat kebaikan itu sendiri, jika dikaitkan dengan surat al-Baqarah ayat 177, adalah: orang yang memiliki akidah yang mantap (iman pada Allah, hari akhir, malaikat, kitab dan pada nabi-Nya); ibadah yang taat (mendirikan shalat); dan kepedulian sosial yang kuat (mengeluarkan zakat dan menafkahkan hartanya yang dicintai kepada kerabatnya, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta; dan [memerdekakan] hamba sahaya); serta kepribadian yang bertanggungjawab (menepati janji dan sabar dalam keadaan sempit atau pun lapang).
Sedangkan dalam surat Ali Imran ayat 92 ditegaskan pula bahwa kebaikan yang sesungguhnya tidak akan dapat diraih kecuali dengan kerelaan menafkahkan harta yang paling dicintai.
Adapun makna mabrur dijelaskan dalam sabda Rasulullah SAW: “Haji mabrur tidak ada balasannya kecuali Surga. Sahabat bertaya: ‘Apakah bentuk bakti dalam haji itu?’ Beliau menjawab: ‘Memberi makanan dan berbicara yang baik.’”( HR. Ahmad, ath-Thabrani, Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi dan al-Hakim)
Dari hadis ini semakin jelas pula bahwa haji mabrur lebih ditekankan pada akhlak atau kepribadiannya, terutama dalam hubungannya secara sosial. Memberi makan (ith’am al-tha’am) memiliki makna yang luas, tidak sekedar memberi makanan kepada yang lapar, tetapi juga suka menolong, berbagi pada sesama, dermawan dalam segala kebaikan. Tegasnya, ia memiliki kepedulian sosial yang tinggi.
Berbicara yang baik bukan sekedar tutur kata yang lembut. Sebab, tidak sedikit orang yang berkata-kata manis tetapi perilakunya menyakitkan. Meskipun begitu, perkataan lisan menjadi indikator utama untuk menilai baik buruknya akhlak seseorang. Karena itu, Imam al-Ghazali menafsirkan berbicara baik (thib al-kalam) dalam hadis di atas sebagai orang yang berakhlak mulia.
Dari makna mabrur di atas, baik dari aspek kebahasaan maupun hadis nabi, dapat disimpulkan bahwa karakter haji mabrur adalah orang yang memiliki kekuatan akidah sehingga dengan akidah itu ia berani berkorban untuk menegakkan agama Allah, baik dengan jiwa, raga, harta benda, dan segala sesuatu yang ia cintai. Konsekuensi lebih lanjut dari akidah itu adalah ia tidak akan berani melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah.
Begitu pula ketaatannya pada menjalankan perintah Allah, ia tetap khusyu’ dan bersemangat dalam melaksanakan ibadah, baik yang wajib maupun sunnah; yang berat maupun yang ringan.
Sedangkan kemuliaan akhlaknya tercermin dari pribadi dan hubungan sosialnya. Ketika ia berjanji maka ia tepati. Meski banyak cobaan dan rintangan untuk menepati janji itu, tetapi ia tetap lakukan dengan jiwa sabar yang menancap kuat dalam qalbunya.
Hubungan sosialnya pun terjaga dengan baik. Kedermawanan dan tutur kata yang menyejukkan senantiasa terpancar dari pribadinya. Karena itu, kehadirannya di tengah-tengah masyarakat senantiasa dibutuhkan, dirindukan, dan dibanggakan.
Dengan demikian, tidak mudah meraih haji mabrur. Imam al-Ghazali, dalam kitabnya, Ihya’ Ulumuddin, menceritakan kisah yang dialami oleh Ibnu Muwaffaq. Ketika Ibnu Muwaffaq mengerjakan haji di masanya, sempat tertidur di Masjid Mina yaitu Mesjid Kheef. Dalam tidurnya dia melihat dan mendengar dua Malaikat yang berdialog jumlah jamaah haji di masa itu. Seorang bertanya kepada temannya, “berapa jumlah jamaah haji tahun ini?”, Enamratus ribu orang,” jawabnya.‘’Berapa orang yang di antara mereka yang memperoleh haji mabrur?’’ tanyanya lagi, ‘’Enam orang saja,’’ jawab temannya pula.
Mendengar jawaban tersebut, Ibnu Muwaffaq terjaga dan ia termenung, betapa besarnya jumlah jamaah haji pada masa itu, tapi sayang betapa sedikitnya di antara mereka yang mendapat haji mabrur. Walaupun kisah pendek ini sekedar mimpi dan tidak diketahui secara pasti tahun kapan terjadinya, paling tidak, ulama besar yang bergelar Hujjah al-Islam ini menyampaikan pesan kepada kita memang tidak mudah menjadi haji yang mabrur.
Lalu apa yang harus dilakukan untuk memperoleh haji mabrur tersebut?
Paling tidak, ada tiga hal yang perlu dilakukan. Pertama, laksanakan haji dengan niat karena Allah semata (Lillahi Ta’ala). Seperti firman-Nya dalam Qs. Ali Imran ayat 97: Walillahi ‘alannasi Hijjul baiti manistatho’a ilaihi sabila (Dan karena Allah kewajiban haji itu dilaksanakan oleh manusia, bagi yang menyanggupinya). Maksud “Lillah” (ikhlas) di dalam niat haji bukan hanya dalam bentuk formal, yang diawali dari memakai ihram hingga di tutup dengan tahallul. Tetapi, “Lillah” (ikhlas) juga dilakukan mulai dari mengumpulkan dan menyetor Ongkos Naik haji (ONH), meninggalkan keluarga, harta dan tanah air. Haji yang dilakukan tidak bermaksud untuk dipuji atau mendatangkan keuntungan duniawi bagi dirinya.
Kedua, menjalankan ibadah haji sesuai dengan tuntunan syariát Islam, baik yang berkenaan dengan syarat, rukun, sunnah, dan hal-hal yang dilarang dan membatalkan pelaksanaan ibadah haji. Untuk melaksanakan tuntunan syariát ini juga dimotivasi karena dan untuk Allah. Artinya seluruh rangkaian pelaksanakan ibadah haji dikerjakan dengan hati yang lapang, tanpa merasa terpaksa atau karena motivasi lainnya.
Ketiga, memaknai pesan setiap rangakain ibadah ritual yang dilakukan dalam pelaksanaan ibadah haji tersebut. Pesan itu mestilah berbekas dalam kehidupannya sehari-hari. Di antara pesan itu adalah: ketika ia mengenakan pakaian ihram yang putih lagi bersih akan mendidiknya untuk berhati suci, tidak sombong dan tidak pula serakah. Keseragaman pakaian para jamaah haji juga mendidiknya untuk menghargai orang lain karena pada hakikatnya semua sama dan perbedaannya terletak hanyalah pada kualitas takwanya. Sementara kualitas takwa tersebut hanya diketahui oleh Allah semata. Thawaf mengelilingi Ka’bah juga mendidik agar setiap kali beraktifitas mesti didasari oleh iman dan akidah yang kuat. Gerakan sa’i juga mendidiknya agar bersikap dinamis dan optimis, giat bekerja tanpa pernah berputus asa.
Dan masih banyak lagi rangkaian ibadah lain yang sebenarnya mengandung makna atau pesan yang mendalam. Pesan-pesan itu mesti berbekas pada dirinya sehingga kepribadiannya semakin baik dan menyenangkan bagi banyak orang, terutama di hadapan Allah.
Selain itu, hal-hal yang dilarang dalam pelaksanaan ibadah haji juga patut diaplikasikan sesudah pulang ke tanah air. Di antara larangan itu tertera dalam al-Qurán surat al-Baqarah ayat 197: Haji itu pada bulan-bulan tertentu. Barang siapa yang mengerjakan haji, maka tak boleh ia melakukan persetubuhan (fa laa rafatsa), tidak boleh berbuat kejahatan/kefasikan (laa fusuuqa), dan tidak boleh bertengkar (laa jidaala). Segala kebaikan yang kamu buat niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah kamu dengan sebaik-baik perbekalan, yaitu takwa. Takutlah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”
Dari ayat ini, terdapat tiga larangan ketika mengerjakan ibadah haji. Meskipun demikian, ketika selesai melaksanakan haji, ketiga larangan tersebut perlu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Larangan bersetubuh pada hakikatnya mendidik manusia agar mampu mengendalikan nafsunya. Ketika kembali ke tanah air, seorang yang telah haji bukan dilarang untuk kembali kepada istrinya, akan tetapi mampu mengendalikan nafsunya dari keinginan-keinginan duniawi yang sifatnya hanya sesaat.
Larangan berbuat fasik—mengetahui tentang sesuatu yang benar tetapi tidak mematuhinya atau sebaliknya—hendaknya tetap dijaga agar diri terhindar dari hal demikian.
Begitu juga larangan bertengkar (jidal) menunjukkan bahwa Islam mengajarkan agar berbuat baik, tidak hanya kepada Allah (habl minallah), akan tetapi mesti berbuat baik kepada sesama manusia (habl minannas).
Dengan upaya seperti ini, insya Allah seorang hamba yang menunaikan ibadah haji akan memperoleh haji mabrur. Jika jamaah haji kita memperolehnya, jelas akan memberi kontribusi positif terhadap kemajuan bangsa ini. Sebab karakter haji mabrur sebagaimana yang dijelaskan di atas sangat dibutuhkan di negeri ini. Wallahu a’lam.